Perjuangan seorang KARTINI, Melawan Jaman
Tidak ada kata tidak mungkin dan tidak ada kata terlambat, selama memiliki keyakinan, mau berusaha keras dan optimis.
Meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi, tidak pantang menyerah dan terus berjuang untuk mencapai harapan. kemudian Itulah sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang wanita keturunan bangsawan Jawa yang berhasil memperjuangkan martabat wanita, berasal dari Mayong, Kabupaten Rembang, Raden Adjeng Kartini, terlahir 21 April 1879.
Sebagai anak, seorang bangsawan yang bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda, Raden Adjeng Kartini mendapat kesempatan bersekolah di sekolah Belanda, pada usia 6 tahun. Pendidikan itu membuat Kartini dan juga adik-adiknya mampu membaca dan menulis, bahkan dalam bahasa Belanda.
Tidak semua wanita pada saat itu dapat mengenyam bangku sekolah, hanyalah keturunan bangsawan yang dapat bersekolah. Para wanita di saat itu tidak boleh keluar rumah, apalagi untuk belajar dan mengejar cita-cita.
Tugas wanita pada saat itu, hanya di dalam rumah dan mengurus rumah tangga. Bahkan wanita harus menikah di usia muda sesuai dengan adat Jawa yang berlaku. Termasuk R.A Kartini, terpaksa harus berhenti sekolahnya, bahkan tawaran beasiswa untuk belajar di luar negeri pupus, dikarenakan harus mengikuti adat Jawa yang berlaku, yaitu menikah dari perjodohan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, dengan seorang Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat. Joyodiningrat 26 tahun lebih tua dari Kartini, dan sudah memiliki tiga istri dan 12 anak.
Awal perjuangan seorang Kartini yang bercita-cita untuk membuat para wanita Jawa terbebas dari adat kawin muda, agar dapat mengenyam pendidikan, muncul, karena kedekatan Kartini dengan seorang istri bupati Belanda, Marie Ovink-Soer. Kepada Ovink-Soer inilah, Kartini sering mencurahkan isi hatinya akan banyak hal, terutama kondisi perempuan yang dikekang adat dan tradisi.
Kartini banyak mengenal gerakan feminisme Belanda sejak usia 20 tahun, dari Ovink-Soer. Marie Ovink-Soer juga seorang penulis buku-buku tentang perempuan dan anak-anak.
Oleh beliau, Kartini dikenalkan kepada De Hollandsche Lelie, seorang penulis majalah progresif yang memperjuangkan hak perempuan, dan mengajak Kartini untuk menulis surat, mencari sahabat pena dari negeri Belanda. Pegawai pos bernama Estella Zeehandelar menanggapi dan mengirim surat kepada Kartini. Korespondensi antara Kartini dengan Stella, membuat pikirannya semakin terbuka.
Dalam suratnya Kartini menulis tentang masalah tradisi yang menindas, pernikahan paksa dan poligami bagi perempuan Jawa kelas atas, yang membuat kondisi perempuan benar-benar tertindas tanpa bisa memilih masa depannya sendiri. Selain itu juga menulis tentang pentingnya pendidikan bagi anak perempuan. Disamping menulis surat, Kartini juga banyak membaca koran, majalah Eropa, dan buku. Salah satunya Kartini mengambil buku Max Havelaar yang ditulis Multatuli sebagai referensi, untuk tulisannya.
Semua informasi yang didapat, membuat Kartini sangat tertarik pada kemajuan berpikir para perempuan Eropa. Oleh sebab itulah, semakin menambah keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi yang memiliki status sosial yang rendah, salah satunya pendidikan yang terbatas. Surat-surat tidak hanya ditulis Kartini kepada Ovink-Soer dan Stella. Kartini juga menulis surat kepada sejumlah sahabat lainnya, salah satunya Rosa Abendanon, istri dari JH Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.
Cita-cita dan keinginan Kartini, tidak hanya dituangkan dalam surat-surat kepada sahabat penanya, tetapi benar-benar diwujudkannya dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang. Dengan dukungan dari suami dan bantuan dari pemerintah Belanda, pada tahun 1903, Kartini membuka sekolah dasar pertama Indonesia untuk gadis pribumi, dengan tidak membeda-bedakan status sosial mereka. Sekolah itu didirikan di dalam rumah ayahnya, dan mengajarkan anak perempuan kurikulum progresif berbasis Barat.
Perjuangan R.A Kartini ini banyak ditentang oleh masyarakat sekitar karena memiliki pandangan berbeda. Namun Kartini tidak pantang menyerah karena ingin memperjuangkan martabat perempuan. Kartini dengan berani mendobrak aturan-aturan yang ada. Kartini menganggap bahwa perempuan harus mandiri, berhak untuk meraih cita-citanya, dan sederajat dengan kaum pria, tanpa mengesampingkan kodrat kewanitaannya.
Namun sayang, pada tanggal 17 September 1904, dalam usia 25 tahun, Kartini menutup usia di Kabupaten Rembang, akibat komplikasi melahirkan anak pertamanya. Tujuh tahun setelah kematiannya, salah satu korespondennya, Jacques H. Abendanon, menerbitkan kumpulan surat Kartini, dan diberi judul “Duisternis tot Licht”, yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia, oleh sastrawan pujangga baru Armjn Pane pada 1922 dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Dengan perjuangan dan sikap yang pantang menyerah tersebut , kini sosok RA Kartini dapat menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia maupun negara lain, khususnya para perempuan. Pandangan-pandangan yang diberikan Kartini, serta semangat perjuangannya mampu membangunkan perempuan generasi muda untuk turut semangat dan kreatif mewujudkan prestasinya, demi bangsa dan negara.
“Jangan pernah menyerah jika kamu masih ingin mencoba. Jangan biarkan penyesalan datang karena kamu selangkah lagi untuk menang.”
#indonesia #haripahlawan #10november
Jayalah Negeri Kami Indonesia,
Selamat hari Pahlawan…
Kaysee Henika